HIPERTENSI



BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Penderita hipertensi di dunia mencapai 1 milyar orang. Laporan WHO menyatakan bahwa hipertensi merupakan risiko kesehatan global nomor 1 penyebab kematian dini manusia. Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah arteri secara persisten, seorang dinyatakan menderita hipertensi jika mengalami peningkatan TD berdasarkan standar yang diukur dalam rentang waktu yang berbeda (Saseen & MacLaughlin, 2008). Hipertensi bertanggung jawab atas 12.8% (7.5 juta) mortalitas global atau penyebab kematian nomor 1 di dunia, serta menjadi penyebab berkurangnya kemampuan atau Disability-Adjusted Life Years (DALYs) sebesar 3,8% (WHO, 2009a). Pengendalian tekanan darah (TD) suboptimal (sistolik >115mmHg) bertanggung jawab atas 62% penyakit serebrovaskular, 49% penyakit jantung iskemik, dan 49% kasus gagal jantung (Chobanian et al., 2003). Hipertensi menyebabkan 51% mortalitas serebrovaskular dan 45% mortalitas penyakit jantung iskemik (WHO, 2009a). Prevalensi penderita hipertensi Indonesia tinggi, berdasarkan hasil survey Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Balitbangkes populasi di atas 15 tahun yang mengalami hipertensi adalah 31.7% untuk tingkat nasional dan 35.8% untuk Yogyakarta (Rahajeng dan Tuminah, 2009), sedangkan prevalensi berdasarkan penelitian secara acak pada 3080 subyek di atas 40 tahun dari berbagai kota di Indonesia didapatkan proporsi sebesar 58% (Setiati & Sutrisna, 2005).

Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan (KemenkesRI, 2013). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat inap terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi kasus 42,38% pria dan 57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012).

Hipertensi merupakan penyakit kronis yang mahal harganya. Di USA (2003) biaya tahunan mencapai $50.3 milyar terdiri $37.2 milyar biaya terapi langsung (biaya antihipertensi sebanyak $17.8 milyar) dan $13.1 milyar tidak langsung meliputi $7 milyar dan $6.1 milyar biaya karena kehilangan produktivitas disebabkan sakit dan meninggal dunia. Biaya yang disebut di atas diperkirakan lebih rendah dari nilai sesungguhnya karena morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular yang disebabkan hipertensi seringkali tidak dilaporkan. Biaya tahunan untuk CVD versi AHA adalah $351.8 milyar terdiri dari biaya langsung terkait terapi $209.3 milyar dan $142.5 milyar biaya tidak langsung (Elliott, 2003; Esposti et al., 2004).

1.2              Rumusan Masalah

1. Apa itu hipertensi?
2. Berapa macam/jenis hipertensi?
3. Apa penyebab dan bagaimana cara penularan penyakit hipertensi?
4. Apa tanda dan gejala dari penyakit hipertensi?
5. Bagaimana cara pencegahan penyakit hipertensi?
6. Aapa saja komplikasi dari hipertensi?

1.3              Tujuan
1.                     Untuk mengetahui pengertian dari hipertensi
2.                     Untuk mengetahui macam/jenis dari hipertensi
3.                     Untuk mengetahui  penyebab dan bagaimana cara penularan penyakit hipertensi
4.                     Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit hipertensi
5.                     Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit hipertensi
6.                     Untuk mengetahui komplikasi dari hipertensi









BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten (Sukandar, 2008). Menurut The Joint National Committee 7 (JNC7), definisi hipertensi dinyatakan dengan tekanan darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) ≥90 mmHg. Tekanan darah normal menurut JNC 7 adalah TDS <120 mmHg dan TDD <80 mmHg (Chobanian dkk., 2003). Pada JNC-7 (2003) dikenal istilah „prehipertensi‟ untuk TDS 120-139 mmHg atau TDD 80-89 mmHg, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran individu yang bersangkutan akan risiko terjadinya hipertensi (Bandiara, 2008).

Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten. Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg (Depkes RI, 2006)

2.2 Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis. Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi , dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat.

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg; dikategotikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi.8 Pada hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit – jam) untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut: encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil, dan eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan. Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa jam s/d beberap hari.

Penyakit Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
1) Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi). Hipertensi primer kemungkinan memiliki banyak penyebab, beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah (Armilawaty, 2007). Faktor genetik kemungkinan memiliki peran penting pada perkembangan hipertensi esensial (Dipiro dkk., 2008).
2) Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain (kurang dari 10% dari seluruh kasus hipertensi) (Armilawaty, 2007). Pada sebagian besar kasus, disfungsi renal akibat gagal ginjal kronis merupakan penyebab hipertensi sekunder yang paling umum. Obat-obatan tertentu dapat meningkatkan tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi atau memperburuk kondisi hipertensi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Langkah pertama dalam terapi hipertensi sekunder adalah dengan menghindari faktor pemicu atau dengan mengobati komorbid yang menyertai (Dipiro dkk., 2008).

2.3 Faktor Risiko dan Etiologi
Munculnya hipertensi, tidak hanya disebabkan oleh tingginya tekanan darah. Akan tetapi, ternyata juga karena adanya faktor risiko lain seperti komplikasi penyakit dan kelainan pada organ target, yaitu jantung, otak, ginjal, dan pembuluh darah (Armilawaty, 2007).
Faktor risiko utama pada penyakit kardiovaskuler menurut JNC 7 antara lain hipertensi, kebiasaan merokok, obesitas (Body Mass Index ≥30 kg/m3), kurangnya aktivitas fisik, dislipidemia, diabetes melitus, microalbuminuria atau GFR<60 mL/menit, usia (pria >55 tahun, wanita >65 tahun) dan riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular prematur (pria berusia dibawah 55 tahun atau wanita berusia dibawah 65 tahun) (Chobanian dkk., 2003).
Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
    
   1) Faktor risiko yang yang tidak dapat dimodifikasi
   a) Keturunan
Faktor genetik kemungkinan memiliki peran penting pada perkembangan hipertensi (Dipiro dkk., 2008). Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi memiliki risiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang tanpa riwayat keluarga dengan hipertensi (Julius, 2008). Chobanian dkk (2003) menyebutkan bahwa seseorang dengan riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular prematur (pada pria yang berusia <55 tahun atau pada wanita berusia <65 tahun) memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami penyakit kardiovaskular.
    
   b) Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah, karena terdapat kemungkinan bahwa hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin. Secara umum tekanan darah pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah menopause yang menunjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008).
    
   c) Umur
Chobanian dkk (2003) menyebutkan umur merupakan faktor resiko utama pada penyakit kardiovaskular. Pria yang berusia lebih dari 55 tahun dan wanita yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko lebih besar untuk menderita hipertensi. Hal ini dapat disebabkan karena elastisitas pembuluh darah yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur.

   2) Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
   a) Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik, meningkatnya denyut jantung dan kontraksi otot jantung, meningkatnya pemakaian oksigen, meningkatnya aliran darah pada koroner dan vasokontriksi pada pembuluh darah perifer (Gray, 2005).
   \
   b) Obesitas
Kelebihan lemah tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan hipertensi. Seseorang yang mengalami obesitas (Body Mass Index ≥30 kg/m3) memiliki risiko lebih besar untuk terserang penyakit kardiovaskular (Chobanian dkk., 2003). Penurunan berat badan efektif untuk menurunkan hipertensi. Penurunan berat badan sekitar 5 kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan (Izzo Jr dan Black, 1999).
    
    
   c) Asupan Natrium
Pengaruh asupan natrium terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah (Suyono dkk., 2001). Konsentrasi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium dalam cairan ekstraseluler meningkat, untuk menormalkannya, cairan intraseluler ditarik keluar sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler menyebabkan meningkatnya volume darah sehingga berdampak pada timbulnya hipertensi (Saraswati, 2009).

2.4 Tanda dan Gejala
Hipertensi sering muncul tanpa gejala, terutama pada kasus hipertensi primer. Namun terdapat beberapa gejala hipertensi yang muncul yaitu sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan (Armilawaty, 2007). Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Hipertensi esensial kadang muncul tanpa gejala, kemudian gejala muncul setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008).
Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala penyakit yang menyertainya. Pada penderita hipertensi sekunder dengan aldosteronemia primer, gejala yang mungkin terjadi adalah hipokalemia, keram otot dan kelelahan. Penderita hipertensi sekunder pada sindrom Cushing dapat mengalami peningkatan berat badan, poliuria, edema, menstruasi yang tidak teratur, jerawat atau kelelahan otot (Sukandar, 2008).
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala secara bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena gagal jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas (Julius, 2008).

2.5 Patofisiologi
Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh interaksi berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua variabel hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi perifer total (Robbins dkk., 2007). Curah jantung merupakan faktor yang menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer total menentukan nilai tekanan darah diastolik. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan resistensi perifer total (Saseen dan Maclaughlin, 2008).
Ginjal memiliki peranan dalam mengendalikan tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal (Saseen dan Maclaughlin, 2008)
Renin yang dihasilkan oleh sel justaglomerulus ginjal mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin-1, kemudian angiotensin-1 diubah menjadi angiotensin-2 oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin-2 dapat berikatan dengan reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) atau reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Stimulasi reseptor AT1 dapat meningkatkan tekanan darah melalui efek pressor dan volume darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008).
Efek pressor angiotensin-2 meliputi vasokonstriksi, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Selain itu, angiotensin-2 menstimulasi sintetis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi natrium dan air. Retensi natrium dan air ini mengakibatkan kenaikan volume darah, kenaikan resistensi perifer total, dan akhirnya kenaikan tekanan darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen, 2009).
Tekanan darah juga diregulasi oleh sistem saraf adrenergik yang dapat menyebabkan terjadinya kontraksi dan relaksasi pembuluh darah. Stimulasi reseptor α-2 pada sistem saraf simpatik menyebabkan penurunan kerja saraf simpatik yang dapat menurunkan tekanan darah. Stimulasi reseptor α-1 pada perifer menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang dapat meningkatkan tekanan darah. Stimulasi reseptor β-1 pada jantung menyebabkan kenaikan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan stimulasi reseptor β-2 pada arteri dan vena menyebabkan terjadinya vasodilatasi (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen, 2009).

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Terapi Nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat. Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke
pasien, dan dorongan moril. Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti rasionalitas intervensi diet:
a. Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan berat badan ideal
b. Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)
c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk
d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskular.
e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi.
f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam, kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan pembatasan natrium. JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari. Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.
2.6.2 Terapi Farmakologi
Obat – obatan antihipertensi yang dapat digunakan antara lain Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs), Angiotensin receptor blockers (ARBs), beta-blockers (BBs), calcium channel blockers (CCBs), dan diuretik tiazid. Diuretik tiazid merupakan antihipertensi dasar yang digunakan pada terapi awal pada sebagian besar pasien hipertensi, baik digunakan secara tunggal maupun kombinasi dengan ACEI, ARB, BB ataupun CCB (Chobanian dkk., 2003).

Jenis obat yang sering digunakan dalam terapi hipertensi :
i. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI)
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat secara langsung angiotensin converting enzyme (ACE) dan menghalangi konversi angiotensin-1 menjadi angiotensin-2. Aksi ini mengurangi angiotensin-2 yang dapat menimbulkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron. Adanya jalur lain yang menghasilkan angiotensin-2 mengakibatkan ACEI tidak menghalangi secara penuh produksi angiotensin-2 sehingga ACEI tidak menyebabkan efek pada metabolisme.
Bradikinin terakumulasi pada sebagian pasien karena penghambatan ACE mencegah kerusakan dan inaktivasi bradikinin. Bradikinin dapat mengakibatkan vasodilatasi dengan mengeluarkan nitro oksida, tetapi bradikinin juga dapat menimbulkan terjadinya batuk. Contoh obat golongan ACEI adalah kaptopril, enalapril, dan lisinopril (Saseen, 2009).
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) harus dihindari          pada pasien dengan arteri stenosis ginjal karena beresiko menimbulkan gagal ginjal akut. Selain itu, ACEI juga dikontraindikasikan pada pasien angioedema dan wanita hamil (Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Efek samping ACEI yang paling sering yaitu batuk kering, ruam, dan pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal atau diabetes (Barranger dkk., 2006).
ii. Angiotensin receptor blocker (ARB)
Angiotensin-2 dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim yaitu RAAS (renin angiotensin aldosterone system) yang melibatkan ACE dan jalur alternatif yang menggunakan enzim kimase (Carter dkk., 2003). Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) hanya menghambat efek angiotensin yang dihasilkan melalui RAAS, sedangkan ARB menghambat angiotensin-2 dari semua jalur. Angiotensin receptor blocker (ARB) menghambat secara langsung reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensin-2 yaitu vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi saraf simpatik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari glomerulus. Angiotensin receptor blocker (ARB) tidak memblok reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Hal ini menyebabkan efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh dengan penggunaan ARB (Depkes RI, 2006). Contoh ARB yaitu valsartan, kandesartan, irbesartan, dan losartan (Chobanian dkk., 2004).
Penggunaan ARB biasanya dapat ditoleransi dengan baik, karena tidak menyebabkan batuk dan jarang menyebabkan angioedema (Weber dkk., 2014). Angiotensin receptor blocker (ARB) harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan kerusakan hati dan ginjal serta dikontraindikasikan pada kehamilan. Efek samping ARB meliputi pusing, kelelahan, diare, rasa sakit, dan infeksi (Barranger dkk., 2006).
iii. Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan mengosongkan simpanan natrium dalam tubuh. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan curah jantung, tetapi setelah 6-8 minggu maka curah jantung kembali normal sedangkan resistensi vaskular menurun. Natrium diperkirakan berperan dalam resistensi vaskular dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivasi saraf. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran natrium-kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium intraselular (Benowitz, 2009).
Empat subkelas diuretik yang digunakan untuk mengobati hipertensi yaitu tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik terutama golongan tiazid merupakan lini pertama pada pasien hipertensi. Diuretik penahan kalium memiliki efek yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Antagonis aldosteron memiliki efek yang lebih poten dengan mula kerja yang lambat (Depkes RI, 2006).
Contoh diuretik tiazid yaitu hidroklorotiazid, klortalidon, dan indapamid. Diuretik loop yaitu bumetanid, torsemid, dan furosemid. Diuretik penahan kalium yaitu amilorid dan triamteren. Antagonis aldosteron yaitu eplerenon dan spironolakton (Chobanian dkk., 2004). Diuretik khususnya diuretik tiazid dikontraindikasikan pada hipersensitivitas terhadap tiazid atau sulfonilurea, anuria, kehamilan, hiponatremia, hiperurisemia simptomatik, gout, hipokalemia yang persisten, hiperkalsemia, penyakit Addison, gangguan hati berat, dan gangguan ginjal berat (kreatinin klirens <30 ml/menit) sedangkan golongan diuretik loop yaitu furosemid dikontraindikasikan pada hipersensitivitas terhadap diuretik loop atau sulfonilurea, gout, anuria, dan pasien koma hepatik akibat sirosis (NFKDOQI, 2004; Lacy dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menggunakan ACEI, ARB, NSAID, atau suplemen kalium. Antagonis aldosteron dapat menimbulkan hiperkalemia (Depkes RI, 2006).
iv. Beta blocker (penyekat beta)
Reseptor beta terdiri dari reseptor beta-1 dan reseptor beta-2. Reseptor beta-1 yang terdapat di jantung dan ginjal berfungsi dalam mengatur denyut jantung, pelepasan renin, dan kontraktilitas jantung. Reseptor beta-2 yang terdapat di paru-paru, hati, pankreas, dan otot polos arteri berfungsi dalam mengatur bronkodilatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan mengurangi pelepasan renin dari ginjal (Barranger dkk., 2006; Weber dkk., 2014).
Penyekat beta yang berikatan dengan reseptor beta-1 bersifat kardioselektif karena tidak menghambat reseptor beta-2 dan tidak menstimulasi bronkokonstriksi. Obat-obat yang termasuk dalam penyekat beta-1 seperti metoprolol, betaksolol, atenolol, asebutolol, dan bisoprolol lebih aman pada pasien asma, penyakit paru-paru obstruksi kronis, dan penyakit vaskular. Pada dosis tinggi, penyekat beta selektif kehilangan kardioselektifitasnya (Barranger dkk., 2006). Beberapa penyekat beta mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsik (ISA). Asebutolol, karteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja secara agonis pada beta reseptor parsial (Depkes RI, 2006). Penyekat beta ISA dapat menstimulasi reseptor beta tetapi dengan aksi yang lebih lemah dari agonis beta sebenarnya. Jika diberikan pada pasien dengan denyut jantung yang lemah, maka penyekat beta ISA dapat meningkatkan denyut jantung. Hal yang sebaliknya terjadi pada pasien dalam keadaan istirahat atau melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan takikardi, dimana pada pasien-pasien ini penyekat beta ISA dapat menurunkan denyut jantung karena adanya dominasi sifat penyekat beta (Saseen, 2009).
Penyekat beta harus dihindari pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap BB, hipotensi, kehamilan, bradikardi, blok AV derajat 2 dan 3, edema paru-paru, syok kardiogenik, serta gagal jantungdekompensasi kecuali pada penggunaan karvedilol, metoprolol extended release, dan bisoprolol (NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; Lacy dkk., 2006). Efek samping paling sering dari penyekat beta adalah kelelahan, mengantuk, pusing, bronkospasme, mual, dan muntah (Barranger dkk., 2006).
v. Calcium channel blocker (CCB)
Calcium channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah dengan menghambat aliran ion kalsium melalui kanal L pada sel otot polos arteri. Ada dua jenis CCB yaitu dihidropiridin seperti amlodipin dan nifedipin yang bekerja mendilatasi arteri, serta nondihidropiridin seperti dilitiazem dan verapamil yang bekerja mendilatasi arteri dengan efek yang lebih lemah dari dihidropiridin, tetapi memiliki efek mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas. Generasi pertama CCB seperti verapamil dan dilitiazem dapat mempercepat progresifitas congestive heart failure pada pasien dengan kelainan fungsi jantung. Penggunaan CCB generasi pertama harus dihindari kecuali untuk terapi pada pasien angina, hipertensi, atau aritmia (Barranger dkk., 2006; Weber dkk., 2014). Dilitiazem dan verapamil harus dihindari pada pasien dengan blok AV derajat 2 dan 3, gagal jantung kongesif karena disfungsi sitolik, hipotensi, bradikardi, dan arterial fibrilasi (NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Nifedipin aksi pendek harus dihindari pada pasien hipertensi atau hipertensi emergensi karena menyebabkan tekanan darah diastolik tidak teratur dan takikardi (Barranger dkk., 2006).
Efek samping utama CCB yaitu menyebabkan edema perifer yang biasa terjadi pada dosis tinggi. Efek samping ini dapat dikurangi dengan mengkombinasikan CCB bersama ACEI atau ARB. Calcium channel blocker (CCB) dihidropiridin menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan stroke. Calcium channel blocker (CCB) nondihidropiridin tidak direkomendasikan pada pasien gagal jantung, tetapi lebih dipilih pada pasien dengan detak jantung yang cepat dan untuk mengontrol detak jantung pada pasien atrial fibrillation yang tidak dapat mentoleransi penyekat beta. Calcium channel blocker (CCB) nondihidropiridin juga dapat mengurangi proteinuria. Calcium channel blocker (CCB) memiliki efek menurunkan tekanan darah yang besar ketika dikombinasi dengan ACEI atau ARB (Weber dkk., 2014).
vi. Penyekat alfa-1
Penyekat alfa-1 bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah (ALLHAT, 2003) tanpa menyebabkan penurunan curah jantung dan takikardi (Cross, 2006). Contoh penyekat alfa-1 yaitu prazosin, doksazosin, dan terazosin (Chobanian dkk., 2004). Penyekat alfa-1 harus dihindari pada pasien dengan penyakit kardiovaskular karena dapat meningkatkan resiko kematian (Barranger dkk., 2006). Efek samping yang tidak disukai dari penyekat alfa-1 adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau pingsan, palpitasi, dan sinkop 1-3 jam setelah dosis pertama. Hipotensi ortostatik dan pusing dapat berlanjut dengan pemberian terus menerus. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien lanjut usia. Penyekat alfa melewati hambatan otak-darah dan dapat menyebabkan efek samping pada sistem saraf pusat seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi (Depkes RI, 2006).
vii. Agonis alfa-2 sentral
Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor alfa-2 adrenergik di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak, curah jantung, dan tahanan perifer (Barranger dkk., 2006). Penggunaan agonis alfa-2 sentral secara kronis menyebabkan retensi natrium dan air, terutama pada penggunaan metildopa. Klonidin dosis rendah dapat digunakan untuk mengobati hipertensi tanpa penambahan diuretik. Metildopa harus diberikan bersama diuretik untuk mencegah timbulnya efek antihipertensi yang terjadi dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan (Depkes RI, 2006).
Penghentian penggunaan agonis alfa-2 sentral secara tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin. Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik, tetapi efek ini jarang terjadi. Metildopa harus dihentikan segera apabila terjadi kenaikan serum transaminase atau alkalin fosfatase liver yang menetap (Oparil dkk., 2003).
viii. Vasodilator arteri langsung
Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin (Depkes RI, 2006). Vasodilator arteri langsung dapat menyebabkan retensi cairan dan takikardia sehingga penggunaannya harus dikombinasi dengan diuretik dan penyekat beta atau obat lainnya (klonidin, dilitiazem, atau verapamil) yang dapat mengurangi denyut jantung (Barranger dkk., 2006).
Hidralazin dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan mitral valvular rhemautic heart disease. Minoksidil dikontraindikasikan pada pasien dengan pheochromocytoma, acute myocardial infraction, dan dissecting aortic aneurysm. Efek samping dari hidralazin yaitu terjadinya sindrom seperti lupus (dosis >300mg/hari), dermatitis, demam, dan neuropati perifer. Minoksidil dapat menyebabkan hirsutism (Barranger dkk., 2006).

2.7 Pemeriksaan
2.7.1 . Urin dan darah ( kreatinin, protein, glukosa)
untuk mengetahui penyakit ginjal baik sebagai penyebab maupun disebabkan dan untuk menyingkirkan diabetes/intoleransi glukosa
2.7.2 Kolesterol HDL dan kolesterol total serum
Membantu memperkirakan resiko kardiovaskuler dimasa depan
2.7.3 EKG
Untuk menetapkan adanya hipertensi ventrikel kiri
2.8 Pencegahan
Mengurangi konsumsi garam
Menghindari kegemukan (Obesitas)
Membatasi konsumsi lemak
Olahraga teratur
Makan banyak buah dan sayuran segar
Tidak merokok dan tidak minum alkohol
Berusaha membina hidup yang positif
2.9 Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, demensia, dan atrial fibrilasi. Apabila penderita hipertensi memiliki faktor faktor resiko penyakit kardiovaskular, maka terdapat peningkatan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskular tersebut. Pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Dosh, 2001).

3.0 Askep
Pasien datang ke IGD dengan diantar kelarganya, pasien mengatakan kepalanya sakit, badannya lemas dan tengkuk nyeri. Skala nyeri 7, nyeri pada saat beraktivitas, lamanya nyeri 5-10 menit, bersifat tumpul.  Klien suka makan ikan asin. Pasien sudah lama menderita hipertensi, dan sering mengeluh sakit kepala. Keluarga pasien mengatakan ada salah satu anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit hipertensi. Klien tampak meringis menahan sakit. Hasil pemeriksaan TTV TD : 220/100mmHg, Nadi : 87x/menit, Suhu : 36,6°C, RR : 23x/menit. Kolesterol 255 gr/dl. Pemeriksaan EKG menunjukkan LVH.

Data Fokus
Data Subjektif
Data Objektif
-          Klien mengatakan kepalanya sakit, badannya lemas dan tengkuk nyeri.
-          Skala nyeri 7, nyeri pada saat beraktivitas, lamanya nyeri 5-10 menit, bersifat tumpul
-          Keluarga klien mengatakan klien suka makan ikan asin
-          Keluarga pasien mengatakan ada salah satu anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit hipertensi
-          Klien tampak meringis menahan sakit.
-          Hasil pemeriksaan TTV
TD : 220/100mmHg
Nadi : 87x/menit
Suhu : 36,6°C
RR : 23x/menit
-          Kolesterol 255 gr/dl
-          Pemeriksaan EKG menunjukkan LVH.


Analisa Data
Data Fokus
Masalah
Etiologi
Data Subjektif :
-          Klien mengatakan kepalanya sakit, badannya lemas dan tengkuk nyeri.
-          Skala nyeri 7, nyeri pada saat beraktivitas, lamanya nyeri 5-10 menit, bersifat tumpul
Data Objektif :
-          Klien tampak meringis menahan sakit.
-          Hasil pemeriksaan TTV
TD : 220/100mmHg
Nadi : 87x/menit
Suhu : 36,6°C
RR : 23x/menit
Nyeri Kronik
Gangguan Iskemik
Data Objektif :
-          Keluarga klien mengatakan klien suka makan ikan asin
-          Keluarga pasien mengatakan ada salah satu anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit hipertensi
Data Subjektif :
-          Hasil pemeriksaan TTV
TD : 220/100mmHg
Nadi : 87x/menit
Suhu : 36,6°C
RR : 23x/menit
-          Kolesterol 255 gr/dl
-          Pemeriksaan EKG menunjukkan LVH.

Penurunan curah jantung
Perubahan kontraktilitas

Diagnosa Keperawatan
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Nyeri kronik berhubungan dengan gangguan iskemik
2.
Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas

NO
Diagnosa Keperawatan
Kriteria Hasil
Intervensi Keperawatan
1.
Nyeri kronik berhubungan dengan gangguan iskemik
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 jam, pasien memenuhi criteria hasil:
1.      Klien mengatakan kepalanya sudah tidak sakit dan tengkuknya sudah tidak nyeri.
2.      Skala nyeri 0
3.      Klien tidak lagi meringis menahan sakit.
4.      Hasil pemeriksaan TTV
TD : 120/80mmHg
Nadi : 60-100x/menit
Suhu : 36,5-37,5°C
RR : 16-24x/menit
1.      Ajarkan Teknik Nafas Dalam
2.      Berikan terapi Pemijatan Pada Daerah yang Nyeri
3.      Ajarkan dan Pantau Latihan Pergerakan Sendi
4.      Pantau TTV klien
5.      Berikan Terapi Musik kepada Klien
6.      Kolaborasikan dengan dokter dalam pemberian Analgesik
2.
Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam, pasien memenuhi criteria hasil:
1.      Kolesterol <200 gr/dl
2.      Hasil pemeriksaan TTV
TD : 120/80mmHg
Nadi : 60-100x/menit
Suhu : 36,5-37,5°C
RR : 16-24x/menit

1.      Pantau Cairan Elektrolit di Tubuh klien
2.      Pantau TTV klien
3.      Berikan Terapi Musik untuk mengurangi kecemasan
4.      Pantau Pola Nafas Klien
5.      Edukasi Klien untuk Mengurangi Asupan Garam
6.      Fasilitasi Kunjungan
7.      Kolaborasikan dengan pemberian deuretik
8.      Kolaborasikan dengan dokter dalam  pemberian captropil









BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
·         Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten. Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg (Depkes RI, 2006)
·         Penyakit Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder
·         Faktor risiko dari hipertensi ada 2 yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi
·         Gejala hipertensi yang muncul yaitu sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan
·         Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.
·         Pemeriksaan hipertensi ada darah dan urin, EKG, kolesterol HDL dan kolesterol serum
·         Cara pencegahan dari penyakit hipertensi adalah mengurangi konsumsi garam, menghindari kegemukan (Obesitas), membatasi konsumsi lemak, olahraga teratur, makan banyak buah dan sayuran segar, tidak merokok dan tidak minum alcohol, berusaha membina hidup yang positif
·         Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar
SARAN
1.      Agar selalu menjaga makanan yang dikonsumsi
2.      Hindari stress yang berlenih
3.      Kurangi konsumsi rokok



DAFTAR PUSTAKA
Bandiara, 2008
Benowitz, 2009
BPOM RI, 2008
Depkes RI, 2006
Judith M. Wilkinson, & Nancy R. Ahern. 2012. Diagnosa Keperawatan Nanda NIC NOC. EGC : Jakarta
Julius, 2008
Rahajeng dan Tuminah, 2009
Robbins dkk., 2007
Saseen, 2009
Tjandrawinata, Raymon R. 2012. Medicinus Hypertension. Dexa Medica : Bintaro
Weber dkk., 2014
WHO, 2009


Komentar