Patient Safety



Pengertian
            Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi : assessment/ penaksiran risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.
Patient safety (keselamatan pasien) adalah  pasien bebas dari harm (cedera) yang termasuk didalamnya adalah penyakit, cedera fisik, psikologis, sosial, penderitaan, cacat, kematian, dan lain-lain yang seharusnya tidak seharusnya terjadi atau cedera yang potensial, terkait dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2007). 
Tujuan diadakannya manajemen patient safety atau keselamatan pasien yaitu untuk menggiatkan perbaikan-perbaikan tertentu dalam soal keselamatan pasien, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunkan KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) di Rumah Sakit. Selain itu, dengan adanya sistem ini diharapkan dapat meminimalisir kesalahan dalam penanganan pasien baik pada pasien UGD, rawat inap maupun pasien poliklinik (PERSI, 2008).
             Menurut JCI, terdapat 6 (enam) sasaran yang dapat dilakukan  untuk meningkatkan keselamatan pasien, yaitu Mengidentifikasi Pasien Dengan Benar, Meningkatkan Komunikasi Yang Efektif,  Meningkatkan Keamanan Obat-obatan Yang Harus Diwaspadai,  Memastikan Lokasi Pembedahan Yang Benar, Prosedur Yang Benar, Pembedahan Pada Pasien Yang Benar, Mengurangi Resiko Infeksi Akibat Perawatan Kesehatan, Mengurangi Resiko Cedera Pasien Akibat Terjatuh.
Salah satu kriterianya JCI adalah International Patient Safety Goal (IPSG) yang secara umum bertujuan untuk keselamatan pasien dalam akreditasi rumah sakit ( 2011 ) yaitu :
1. Melakukan identifikasi pasien secara tepat : Nama pasien, tanggal lahir/medical record.
2. Meningkatkan komunikasi yang efektif.
3. Meningkatkan keamanan dari obat yang harus di waspadai ( high alert medication ).
4. Memastikan benar tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi.
5. Mengurangi resiko infeksi terkait dengan pelayanan kesehatan
6. Mengurangi resiko pasien jatuh.
  
Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmen nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatikan keselamatan pasien di rumah sakit. Kesalahan identifikasi pasien 3 (nama, tanggal lahir/ medical record ), dapat terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/ tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/lokasi rumah sakit, dan adanya kelainan sensori atau akibat situasi lain (Depkes RI, 2011 ).

     Melakukan identifikasi pasien secara tepat
Untuk mengadakan identifikasi kita memerlukan 3 hal :
1. Mengenali secara fisik
            a. Melihat wajah/fisik seseorang secara umum.
            b. Membandingkan seseorang dengan gambar/foto
2. Memperoleh keterangan pribadi
            Yang dimaksud dengan keterangan pribadi antara lain
            a. Nama
            b. Alamat
            c. Agama
            d. Tempat/Tanggal lahir
            e. Tanda tangan
            f.  Nama orang tua/Suami/Istri dsb
3. Mengadakan penggabungan antara pengenalan fisik dengan keteranga pribadi, dari penggabungan tersebut biasanya yang paling dapat dipercaya berupa : KTP, Pasport, SIM dsb.
Tujuan Identifikasi
·         Mengidentifikasi dengan benar pasien tertentu yang akan diberi layanan atau pengobatan tertentu.
·         Mencocokkan layanan atau perawatan dengan individu tersebut.
·         Mendeskripsikan prosedur untuk memastikan tidak terjadinya kesalahan dalam identifikasi pasien selama perawatan di rumah sakit.
·         Mengurangi kejadian / kesalahan yang berhubungan dengan salah identifikasi. Kesalahan ini dapat berupa: salah pasien, kesalahan prosedur, kesalahan medikasi, kesalahan transfusi, dan kesalahan pemeriksaan diagnostik.
Identifikasi pasien wajib dilakukan sebelum :
a)      Pemberian obat
b)      Pemberian darah/ produk darah
c)      Pengambilan darah dan specimen lain untuk pemeriksaan klinis
d)     Sebelum memberikan pengobatan
e)      Sebelum memberikan tindakan
Warna pada Gelang Pengenal
a)      Kepada seluruh pasien yang tidak memiliki alergi, gunakan gelang pengenal sesuai dengan jenis kelaminnya, biru untuk pria dan merah jambu untuk wanita
b)      Jika pasien memiliki alergi, diberikan gelang pengenal berwarna merah. Tulis dengan jelas alergi pada gelang tersebut
c)      Untuk pasien dengan risiko jatuh, diberikan gelang dengan warna kuning.
d)     Untuk pasien yang tidak sadarkan diri, berikan gelang dengan warna ungu.
Prosedur Pemakaian Gelang Pengenal
a)      Semua pasien harus diidentifikasi dengan benar sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain.
b)      Pakaikan gelang pengenal di pergelangan tangan pasien yang dominan, jelaskan dan pastikan gelang tepasang dengan baik dan nyaman untuk pasien.
c)      Pada pasien dengan fistula arterio-vena (pasien hemodialisis), gelang pengenal tidak boleh dipasang di sisi lengan yang terdapat fistula.
d)     Jika tidak dapat dipakaikan di pergelangan tangan, pakaikan di pergelangan kaki. Pada situasi di mana tidak dapat dipasang di pergelangan kaki, gelang pengenal dapat dipakaikan di baju pasien di area yang jelas terlihat. Hal ini harus dicatat di rekam medis pasien. Gelang pengenal harus dipasang ulang jika baju pasien diganti dan harus selalu menyertai pasien sepanjang waktu.
e)      Pada kondisi tidak memakai baju, gelang pengenal harus menempel pada badan pasien dengan menggunakan perekat transparan/tembus pandang. Hal ini harus dicatat di rekam medis pasien.
f)       Gelang pengenal hanya boleh dilepas saat pasien keluar/pulang dari rumah sakit.
g)      Gelang pengenal pasien sebaiknya mencakup 3 detail wajib yang dapat mengidentifikasi pasien, yaitu:
i.   Nama pasien dengan minimal 2 suku kata
ii.  Tanggal lahir pasien (tanggal/bulan/tahun)
iii. Nomor rekam medis pasien
h)      Detail lainnya adalah warna gelang pengenal sesuai jenis kelamin pasien.
i)        Nama tidak boleh disingkat. Nama harus sesuai dengan yang tertulis di rekam medis.
j)        Jangan pernah mencoret dan menulis ulang di gelang pengenal. Ganti gelang pengenal jika terdapat kesalahan penulisan data.
k)      Jika gelang pengenal terlepas, segera berikan gelang pengenal yang baru.
l)        Gelang pengenal harus dipakai oleh semua pasien selama perawatan di rumah sakit.
m)    Jelaskan prosedur identifikasi dan tujuannya kepada pasien.
n)      Periksa ulang 3 detail data di gelang pengenal sebelum dipakaikan ke pasien.
o)      Saat menanyakan identitas pasien, selalu gunakan pertanyaan terbuka, misalnya: ‘Siapa nama Anda?(jangan menggunakan pertanyaan tertutup seperti ‘Apakah nama anda Ibu Susi?’)
p)      Jika pasien tidak mampu memberitahukan namanya (misalnya pada pasien tidak sadar, bayi, disfasia, gangguan jiwa), verifikasi identitas pasien kepada keluarga / pengantarnya. Jika mungkin, gelang pengenal jangan dijadikan satu-satunya bentuk identifikasi sebelum dilakukan suatu intervensi. Tanya ulang nama dan tanggal lahir pasien, kemudian bandingkan jawaban pasien dengan data yang tertulis di gelang pengenalnya.
q)      Semua pasien rawat inap dan yang akan menjalani prosedur menggunakan 1 gelang pengenal. Untuk pasien anak dan neonatus, gunakan 2 gelang pengenal pada ekstremitas yang berbeda.
r)       Pengecekan gelang pengenal dilakukan tiap kali pergantian jaga perawat.
s)       Sebelum pasien ditransfer ke unit lain, lakukan identifikasi dengan benar dan pastikan gelang pengenal terpasang dengan baik.
t)       Unit yang menerima transfer pasien harus menanyakan ulang identitas pasien dan
membandingkan data yang diperoleh dengan yang tercantum di gelang pengenal.

2. Meningkatkan komunikasi yang efektif.
Faktor yang dapat mendukung komunikasi efektif :
a.  Dalam profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan metoda utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan.
b.  Komunikator merupakan peran sentral dari semua peran perawat yang ada.
c.  Kualitas komunikasi adalah faktor kritis dalam memenuhi kebutuhan klien.
     
Adapun aspek yang harus dibangun dalam komunikasi efektif adalah :
a.       Kejelasan
Dalam komunikasi harus menggunakan bahasa secara jelas, sehingga mudah diterima dan dipahami oleh komunikan.
b.       Ketepatan
Ketepatan atau akurasi ini menyangkut penggunaan bahasa yang benar dan kebenaran informasi yang disampaikan.
c.       Konteks
Maksudnya bahwa bahasa dan informasi yang disampaikan harus sesuai dengan keadaan dan lingkungan dimana komunikasi itu terjadi.
d.       Alur
Bahasa dan informasi yang akan disajikan harus disusun dengan alur atau sistematika yang jelas, sehingga pihak yang menerima informasi cepat tanggap.
e.       Budaya
Aspek ini tidak saja menyangkut bahasa dan informasi, tetapi juga berkaitan dengan tata krama dan etika.Artinya dalam berkomunikasi harus menyesuaikan dengan budaya orang yang diajak berkomunikasi, baik dalam penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal, agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi.

3. Meningkatkan keamanan dari obat yang harus di waspadai ( high alert medication ).
High-Alert Medication atau obat dengan kewaspadaan tinggi adalah obat-obat yang secara signifikan berisiko membahayakan pasien bila digunakan dengan salah atau pengelolaan yang kurang tepat.
Obat-Obatan yang perlu diwaspadai
q  Elektrolit pekat terdiri dari :   KCl 7,46%
                                                MgSO4 > 50%
                                                Ca Gluconas
                                                Na Bicarbonat 8,4%
                                                Na Cl 3%
q  Heparin
q  Obat Kanker
q  Obat LASA/NORUM
LASA (Look Alike Sound Alike) merupakan sebuah peringatan (warning) untuk keselamatan pasien (patient safety) : obat-obatan yang bentuk / rupanya mirip dan  pengucapannya / namanya mirip TIDAK BOLEH diletakkan berdekatan. Walaupun terletak pada kelompok abjad yang sama harus diselingi dengan minimal 2 (dua) obat dengan kategori LASA diantara atau ditengahnya. Biasakan mengeja nama obat dengan kategori LASA saat memberi/menerima instruksi
Lokasi penyimpanan obat yang perlu diwaspadai berada di logistik farmasi dan pelayanan farmasi, khusus untuk elektrolit konsentrasi tinggi terdapat juga di unit pelayanan, yaitu ICU dan kamar bersalin dalam jumlah yang terbatas. Obat disimpan sesuai dengan kriteria penyimpanan perbekalan farmasi, utamanya dengan memperhatikan jenis sediaan obat (rak/kotak penyimpanan, lemari pendingin)
   
Pemberian Obat High Alert Kepada Pasien
v        Sebelum Perawat memberikan obat high alert kepada
pasien, Perawat lain harus melakukan pemeriksaan kembali
secara independen (double check):
- kesesuaian antara obat dengan rekam medik/ instruksi dokter dan dengan kardeks.
- ketepatan perhitungan dosis obat
- identitas pasien
v   Obat high alert infus harus dipastikan:
- Ketepatan kecepatan infus.
- Jika obat lebih dari satu, tempelkan label nama obat pada syringe pump dan di setiap ujung jalur slang
v   Setiap kali pasien pindah ruang rawat, Perawat pengantar menjelaskan kepada Perawat penerima pasien, bahwa pasien mendapatkan obat high alert.

4. Memastikan benar tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi.
Tujuan utama dari WHO surgical safety checklist-dan manualnya-untuk membantu mendukung bahwa tim secara konsisten mengikuti beberapa langkah keselamatan yang kritis dan meminimalkan hal yang umum dan risiko yang membahayakan dan dapat dihindari dari pasien bedah. Checklist ini juga memandu interaksi verbal antar tim sebagai arti konfirmasi bahwa standar perawatan yang tepat dipastikan untuk setiap pasien.Untuk mengimplementasikan checklist selama pembedahan, seorang harus bertanggungjawab untuk melakukan pengecekan checklist. Hal ini diperlukan seorang checklist koordinator biasanya perawat sirkuler tapi dapat berarti setiap klinisi yang berpartisipasi dalam operasi.
Berikut merupakan teknik yang dilakukan dalam penandaan lokasi operasi:
a.    Pasien diberitanda saat informed concent telah dilakukan
b.    Penandaan dilakukan sebelum pasien berada di kamar operasi
c.    Pasien harus dalam keadaan sadar saat dilakukan penandaan lokasi operasi
d.   Tanda yang digunakan dapat berupa : tanda panah/tanda ceklist
e.    Penandaan dilakukan sedekat mungkin dengan lokasi operasi
f.     Penandaan dilakukan dengan spidol hitam (anti luntur, anti air) dan tetap terlihat walau sudah diberi desinfektan

5. Mengurangi resiko infeksi terkait dengan pelayanan kesehatan (infeksi nosokomial)
Nosokomial diambil dari bahasa Yunani yaitu nosos yang berarti penyakit dan komeo yang berarti perawat. Jadi, nosokomeo berarti tempat untuk merawat atau rumah sakit. Infeksi Nosokomial itu sendiri dapat diartikan sebagai infeksi yang terjadi di RS dan menyerang penderita yang sedang dalam proses perawatan. Infeksi Nosokomial adalah mikroba pathogen yang berasal dari unsure – unsure sebagai berikut :
1.         Penderita lain yang juga sedang dalam proses keperawatan
2.         Petugas pelaksana seperti dokter, perawat, dll.
3.         Peralatan medis yang digunakan
4.         Tempat ( ruangan, bangsal, atau kamar) yang digunakan oleh pasien
5.    Tempat atau kamar dimana penderita menjalani tindakan medis akut seperti kamar operasi, kamar bersalin.
6.         Makanan dan minuman yang disajikan
7.         Lingkungan RS secara umum.

Infeksi Nosokomial juga dapat diartikan sebagai suatu infeksi yang diperoleh atau dialami pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan infeksi itu tidak ditemukan pada saat pasien masuk ke rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat terjadi karena tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat di rawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infuse, tindakan operatif lainnya.

Ciri – ciri Infeksi Nosokomial
            Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila memenuhi beberapa criteria atau batasan tertentu:

1.      Pada waktu penderita mulai dirawat di RS ridak didapatkan tanda – tanda klinik dari infeksi tersebut.
2.      Pada waktu penderita mulai di rawat di RS tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut.
3.      Tanda – tanda klinik infeksi tersebut, timbul sekurang – kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan.
4.      Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (resudial) dari infeksi sebelumnya.
5.      Bila saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda – tanda infeksi dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di RS yang sama pada waktu yang lalu, atau belum pernah dilaporkan infeksi nosokomial.

Pencegahan Infeksi Nosokomial
Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencanan yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:
·      Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan dan aseptic, strerilisasi dan desinfektan.
·      Mengontrol resiko penularan dari lingkungan
·      Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup dan vaksinasi.
·      Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasive.
·      Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.

Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum di bagi dua :
1.      Faktor endogen antara lain umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya tahan tubuh, dan kondisi-kondisi lokal.
2.      Faktor eksogen antara lain lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis, serta lingkunga

6.      Mengurangi resiko pasien jatuh.
Resiko jatuh adalah pasien yang berisiko untuk jatuh yang umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor fisiologis yang dapat berakibat cedera.

Faktor resiko jatuh dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori:
1.    Intrinsik: berhubungan dengan kondisi pasien, termasuk kondisi psikologis
2.    Ekstrinsik: berhubungan dengan lingkungan
Selain itu, faktor risiko juga dapat dikelompokkan menjadi kategori dapat diperkirakan (anticipated) dan tidak dapat diperkirakan (unanticipated).Faktor tersebut adalah:

1.      Dapat diperkirakan :
a.       Intrinsik (berhubungan dengan kondisi pasien):
-          Riwayat jatuh sebelumnya
-          Inkontinensia
-          Gangguan kognitif/psikologis
-          Gangguan keseimbangan/mobilitas
-          Usia > 65 tahun
-          Osteoporosis
-          Status kesehatan yang buruk
-          Gangguan moskuloskeletal

b.      Ekstrinsik (berhubungan dengan lingkungan)
-          Lantai basah/silau, ruang berantakan, pencahayaan kurang, kabel longgar/lepas.
-          Alas kaki tidak pas.
-          Dudukan toilet yang rendah.
-          Kursi atau tempat tifur beroda
-          Rawat inap berkepanjangan.
-          Peralatan yang tidak aman.
-          Peralatan rusak.
-          Tempat tidur ditinggalkan dalam posisi tinggi.

2.      Tidak dapat diperkirakan

a.       Intrinsik (berhubungan dengan kondisi pasien)
-          Kejang
-          Aritmia jantung
-          Stroke atau serangan iskemik sementara (transient ischaemic attack-TIA).
-          Pingsan
-          Serangan jantung (drop attack).
-          Penyakit kronis
b.      Ekstrinsik ( berhubungan dengan lingkungan )
-       Reaksi individu terhadap obat-obatan.

Komentar